Aku punya seorang adik, Syela namanya. Lima bulan lagi, empat tahun sudah dia menjadi anggota keluarga, anak terakhir dari empat bersaudara, satu-satunya wanita. Aku sering mendengarnya menangis, menangis karna minta dibelikan mainan, snack, atau karna digodain aku dan kakakku. Tapi baru sore tadi tangisannya menggumam di kepalaku, melempar tanya ke hatiku malam ini.
“apa itu airmata?”

Bermenit aku senyap masih terjaga, mencoba telusuri labirin-labirin pengetahuan, mencari dalam serambi-serambi pengalaman. Kupaksa buka setiap buku perasaan, hingga membaca isi kamus kehidupanku. Bermacam makna satu demi satu memenuhi pikiranku, padat seperti ember terisi air dan nyaris tumpah. Kucoba mendefinisikan airmata dari makna-makna yang ada, tapi seisi perpustakaan tak mungkin dicatat hanya dalam satu buku; semua pelajaran sekolah tak mungkin diajarkan hanya oleh seorang guru.

Kutemukan bahwa makna airmata itu relative, tak cuma paten pada satu arti, tapi bergantung pada situasi. Misalnya: yang sedih menangis karna kesedihannya, sakit menangis karna kesakitannya, lemah menangis karna kelemahannya, bahagia menangis karna kebahagiaannya, anak kecil–Syela adikku– menangis agar dapatkan keinginannya atau kadang karna jengkel padaku, pun belum lama baru saja kudengar kakak iparku geram pada ibunya hingga menitikan airmata.

Airmata memang bermakna luas bagi kehidupan, kita tak selamanya tau arti setiap cucuran yang mengalir dari mata-mata insan, dan statmen bahwa “tangisan=duka”, rasanya tak mutlak lagi untuk menjadi sebuah kepastian.
Aku pernah menangis, tepatnya sering. Tahun lalu airmataku mengalir setiap malam dalam setahun, untuk menutup hari menggapai mimpi, selalu tangisan menyambutku sebelum terlelap. Banyak saudara melihatku tegar, teman menatapku kuat, dan kerabat mengiraku tak peduli ditinggal cinta. Namun sesungguhnya mereka tak tau dalam hati aku sakit, aku hancur; ibarat kapal kehilangan nahkoda, aku tak bertuju di tengah samudra. Ketika badai dan ombak menerpa: kebimbangan menyerang, ketakutan meradang. Hingga airmata adalah teman berbagi mengenang suka, duka, canda, ratap, segala hal yang pernah kulewati dengannya saat-saat kebersamaan. Banyak yang tak tau aku menangis kala sepi meniba, bahkan airmata menetes pada ramai yang tak beria.

Tapi berselang tak lagi kutangisi masa lalu itu, waktu mengajarku pasrah dan lanjutkan hidup yang lebih baik. Kini aku bisa mengartikan airmata dari sudut pandangku. Sudut yang terlalu lama dibanjiri kepahitan, kesepian, kebencian, namun yang telah dikeringkan oleh kedamaian. Airmata adalah tetesan-tetesan kepedihan yang terdorong keluar oleh perisai perasaan, menetes seperti mutiara harapan, menampakan diri dan ketika mengalir basahi pipi, serasa asa bertabur menyemangati hati, meneriaki diri, sudah waktunya bangkit tapaki hari.

Bagiku airmata adalah sebuah kejujuran, bukan kelemahan. Jujur pada keadaan yang sedang membalut jiwa, tak mengelak demi ego dan gengsi yang kadang menjadi kelemahan tak terduga. Airmata adalah ekspresi atas sebuah perasaan hingga membuat kita merasa lega, puas, tenang, dan sebagainya; presentasi hasrat dari lubuk terdalam yang adalah lumrah dan manusiawi.
Akhirnya, teman..

Aku mau bilang sama kamu bahwa esensi dari semua yang kutulis di atas adalah keterbukaan. Khususnya terbuka bagi diri sendiri, karna menangis bukanlah hal memalukan untuk dilakukan, dan airmata merupakan awal dari menemukan kebahagiaan. Jadi, menangislah dalam harapan selagi airmata belum habis `tuk masa depan.