Wahai Senja, kau adalah ruang kalbu tempatku bisikan suka, bahkan ruang keru di manaku teriakan luka. Seraya memandang pesonamu, inginku senandungkan kisah pada teduh hamparanmu, untaian kata yang kini merongrong perih hati.
Apa pernah kau merasa dipermainkan waktu? Atau ditinggalkan hari? Kalaupun pernah, tak mungkin sampai sang surya lupa bertengger di ufuk barat saat masamu bergulir; mustahil langit tak memerah kala singgasanamu meniba. Aku tak seberuntung dirimu, malah kisahku terlalu ironis bila kata adil adalah sebuah harapan akhir.
Dia, sang Misteri, lupa beringsut layu di pelukku. Bahkan sangking kuat, kemarin dia tak menyesal pergi tinggalkan rapuh diriku..
Waktu mempermainkanku, memberi harapan yang ternyata tak pernah bisa tergenggam, padahal banyak sudah kubayar detik demi detik agar beroleh cinta Misteri, cinta yang berhasil menebar rindu dalam benak dan tumbuhkan bunga asmara di jiwa.
Wajah senyumnya seperti meniba hujan saat lama kemarau bertamu, ayunan langkahnya gemulai bak ombak pantai menggapai-gapai. Kaos oblong berpadu jeans selutut menambah anggun dirinya, dan kulit lembut warna putih itu lebih berkilau saat terdekap kemilau surya. Tapi tenyata waktu mempermainkanku, waktu yang tak penah berani mempermainkan dirimu, wahai Senja. Tatapan indah matanya saja tak pernah lagi kutemukan kini.
Kupandangi surya di sela awan-awan beralaskan langit merah, sedang mengintip aku yang terpaku bingung dengan Misteri dalam taburan senja.