Kamis, 30 September 2010

INGATLAH PULANG

rumah
Ingatlah untuk segera pulang ketika lelah mendera setelah lama berziarah di negri-negri seberang (kau tak pernah tau keyakinanmu ‘kan tersesat di tanah kafir), ketika letih kau rasa waktu mencari keramaian di hutan belantara -mungkin berbinatang buas- yang tak berhingga, atau ketika tak kuat lagi menjadi pelacur di tangan-tangan kepopuleran dan kekuasaan yang memenjarakan nurani.

Ingatlah untuk segera pulang saat bosan di sana karena banyak kegagalan menemui sampai buatmu menyerah, saat putus asa di sana lantaran kesakitan sering membelenggu dan remukan jiwa, atau keasingan serentak memenuhi seratus persen kewarasanmu.

Ingatlah untuk segera pulang. Lihat merpati itu, walau sangkar memberikannya kebebasan ‘tuk kelilingi semesta di bawah mentari, tak pernah dia lupa ‘tuk kembali pulang kala malam meniba. Tengoklah pohon besar itu, makin dewasa dan jauh menjulang tinggi dia, akar-akarnya pun merambat jauh lebih dalam menahan agar tetap kokoh.Lebarkanlah sayap dan tumbuhlah kau tinggi, kalau bisa sekalian menyentuh langit, tapi ingatlah: semakin banyak langkah yang kau tempuh pergi, harus semakin banyak pula harapan ‘tuk kau di sini kembali.

Ingatlah untuk segera pulang. Di meja, susu dan roti telah tersedia bagimu, cinta dan kebahagiaan sudah menunggu kedatanganmu. Tinggalkanlah semua ziarah, pencarian dan perzinahanmu di sana serta lupakan segala kegagalan, kesakitan dan keasingan waktu kau pergi merana.
Ingatlah untuk segera pulang..
Tak ada hal terindah selain kau di sini kembali..

Pulang.

Senin, 20 September 2010

MISTERI DALAM TABURAN SENJA

Wahai Senja, kau adalah ruang kalbu tempatku bisikan suka, bahkan ruang keru di manaku teriakan luka. Seraya memandang pesonamu, inginku senandungkan kisah pada teduh hamparanmu, untaian kata yang kini merongrong perih hati.
Apa pernah kau merasa dipermainkan waktu? Atau ditinggalkan hari? Kalaupun pernah, tak mungkin sampai sang surya lupa bertengger di ufuk barat saat masamu bergulir; mustahil langit tak memerah kala singgasanamu meniba. Aku tak seberuntung dirimu, malah kisahku terlalu ironis bila kata adil adalah sebuah harapan akhir.
Dia, sang Misteri, lupa beringsut layu di pelukku. Bahkan sangking kuat, kemarin dia tak menyesal pergi tinggalkan rapuh diriku..
Waktu mempermainkanku, memberi harapan yang ternyata tak pernah bisa tergenggam, padahal banyak sudah kubayar detik demi detik agar beroleh cinta Misteri, cinta yang berhasil menebar rindu dalam benak dan tumbuhkan bunga asmara di jiwa.
Wajah senyumnya seperti meniba hujan saat lama kemarau bertamu, ayunan langkahnya gemulai bak ombak pantai menggapai-gapai. Kaos oblong berpadu jeans selutut menambah anggun dirinya, dan kulit lembut warna putih itu lebih berkilau saat terdekap kemilau surya. Tapi tenyata waktu mempermainkanku, waktu yang tak penah berani mempermainkan dirimu, wahai Senja. Tatapan indah matanya saja tak pernah lagi kutemukan kini.
Kupandangi surya di sela awan-awan beralaskan langit merah, sedang mengintip aku yang terpaku bingung dengan Misteri dalam taburan senja.

Kamis, 09 September 2010

TAKDIR SITI NURBAYA

Rambutnya lurus terurai hitam sepunggung, kuning langsat menghambur monochrome dari kulit yang banyak mengelus lebat ujian kehidupan. Wajah senja itu seperti hendak mengucap sesuatu, sesuatu yang mustahil terkata dari mulut wanita dua puluh tahun terikat tali suci pernikahan. Dia tepat di hadapku kala percakapan mengalir seru berhias canda kekeluargaan bicarakan masa muda, orang tua dan anak perawan yang senang bercerita asmara pada sang bunda.

Sebuah detik -mungkin lebih- sejenak mengabadikan dalam benakku raut sang istri berbeban. Tiba-tiba duka terpajang meradang, luka kembali menganga sepertinya. Bibir senyum -tapi tatap sendu- iringi ungkap yang sekejap gemparkan sebuah ruang di hatiku, ada kekosongan yang tak berhasil diisi dua dasawarsa perkawinan; tak sanggup dipenuhi bahkan oleh tiga buah hati tercinta. Ada apa dengannya? Mengapa pandangan itu bak lukiskan sesal yang tak terkatakan?

Ketika sembilan belas tahun aku sudah menikah, hanya dengan dua minggu berpacaran.
Pernyataannya memberi jawab pada jiwaku yang masih gempar. Siti Nurbaya mungkin menjelmanya, hingga belia usia harus dicuri pahit pelaminan; janur kuning bagai buramkan indah impian.
Badik di leher jika menolak menikah.

Senin, 06 September 2010

DAUN dan MURAI


1. Hari tak nyatakan benar kehadiranmu dan malam tak temukan tempat pembaringanmu. Kau menggemakan senyap ketika berkurun silam pergi bahkan meneriakan bungkam saat tinggalkanku, berlari.
2. Ada murai menyapa dari halaman senja dengan kicau seperti bernyanyi lantunkan kidung cinta kemarau. Angin mengoyakan rimbun pohon kersen yang celah-celahnya pancarkan cahaya kencana. Murai memagut sehelai daun jatuh, dijadikan sarang `tuk hangatkan malam kala gerhana.
3. Kencana menerobos sampai ke dalam rumah kehidupan, nyaris membakar warna-warni penghias hitam-putih kenangan, ketika surut hanya tinggalkan keemasan di ufuk barat. Dan malam kian saru, bulan lupa bangun dari tidurnya di siang hari.
4. Dari barat tualangi perjalanan ke timur, membawa tebaran debu, menyapu pasir di aspal, meriakan air danau, hingga hamparan bertabur segala yang dihempas, dan daun berhamburan olehnya.
5. Wahai muraiku, pulanglah… Tiga tahun sudah aku kau tinggalkan di sini,di atas tangkai pohon kersen tempatmu dulu lewati malam. Kulitku tak hijau lagi seperti pertama kau ambil dari hempas angin yang menjatuhkanku ke bumi. Aku tak lembut lagi malah cadas, tapi tetap sebagai sarang yang kepulanganmu dinanti.