Senin, 15 November 2010


Siang masih pancarkan sinarnya yang kokoh di titik tengah langit. Angin bertiup menyejukan para pejalan kaki, turis lokal sampai mancanegara seperti takkan habis di sepanjang jalan ini, sepanjang daerah Kuta. Toko-toko padat bercokol dengan barang jualannya, penginapan bergaya Bali, dan tempat makan yang asik berpadu dengan sejuknya udara pantai.

Di dalam mobil aku masih terkagum-kagum dengan keajaiban yang termonitor langsung oleh mataku. Legian, Tuban, Kartika Plaza, dan sekitarnya telah meniba keharuan tersendiri dalam lubuk hingga membuat mata tak berkedip dalam beberapa waktu dan mulut kadang lupa mengatup karna keindahan yang belum berhenti pamer di balik kaca mobil pak James (penjaga rumah sekretariat tempat menginapku), yang sekali-sekali mengantar aku dan teman-teman keliling kota.

Di ujung jalan sana terlihat beberapa bule sedang serius memerhatikan sebuah objek, yang lain sibuk memotreti keadaan selitar. Mobil semakin mendekat, kian jelas olehku apa sebenarnya yang mereka perhatikan sedari tadi. Dinding besar terlihat diukiri tulisan-tulisan, lebih tepatnya ukiran-ukiran nama. Deretan nama meninggal pada tragedi Bom Bali yang terjadi beberapa tahun lalu. Kata 'kontras' mulai menyesaki ruang hatiku, indah memang belum tentu aman. Sejenak jiwaku lirih.

Di belahan lorong lain kutemui yang selama ini kunanti. Tempat yang sudah lama kudamba untuk dinikmati langsung dengan mata kepala sendiri. Hamparan pasir putih, ombak besar dengan pemain surfing-nya, keramaian pengunjung dengan berbagai warna kulit, terpampang di sana menjadi pemandangan yang  pertama kali kutemukan dalam hidup.

Walau belum sempat kaki ini menjejak pantai, namun sebuah kepuasan telah cukup untuk sejenak menabahkan perasaan. Kesibukan awal di sini masih belum memberi waktu cukup untukku bisa menyusuri Bali lebih spesifik lagi.


14  jan

Jumat, 05 November 2010

TAUKAH KAU?


Taukah kau aku merindumu? Ketika malam meniba bagai kaktus aku tertengger di tengah gurun sendiri bertemankan sepi. Bulan satu-satunya objek paling jelas yang dapat dipandang walau dengannya tak berbahasaku percakapkan kamu.

Taukah kau aku mencintaimu? Ketika binar mentari telah menggerayangi kamar hingga gerah menyesak, tak pernah cerah kurasa seperti saat masih disisimu. Kau adalah objek paling jelas dan paling kerap kutuju dalam samudra hidup walau tak pernah lagi sekalipun kugapai pantaimu.

Taukah kau aku menyayangimu? Ketika senja merebak ada gertak aroma kental kukenal sangat membauiku. Aromamu. Bola orange nyaris tenggelam di barat sana: batas waktu dan syarat wajib ‘tuk sekedar jejaki ingatan manis denganmu.

Senja adalah teman terbaikku. Rumah bagi ketenangan, ketabahan, kejujuran dan kenangan. Seperti paduan rasa yang serempak menghirup harum aroma senjamu.

Kau adalah cinta dalam hati tanpa sentuhan nyata; kasih murni dan penantian tak bertepi.

Sendiri.
Meniti.
Sepi...

Senin, 01 November 2010

SEBUAH SURAT UNTUK kecil-KU

Hai kecil.. berselang sudah kita tak bersua, padahal alamat belum ganti dan tempat masih kita sekota ini. Apa yang membuatmu betah tak mengirim pesan padaku dan yang buatmu kuat tak menatapku? Mungkin memang cintamu telah saru, tak jelas lagi seperti dulu. Atau karna hatimu telah beku, membatukan air kasih kita yang masih baru.

Di hadapan kini terpampang duabelas digit nomor. Nomor yang 'kan hubungkan suaraku denganmu nun di sana jika tombol hijau pada handphone kutekan dengan pasti. Tapi kata pasti itu yang sedari tadi masih beradu dengan sepatah kata ragu yang tak jua hilang karna segumpal sebab masih berkerumun dalam otak. Ingin kuhapus ragu itu sebersih mungkin, biar hanya pasti yang akhirnya tuntun jempolku menekan tombol yes dan menelponmu.

Ahh.. tetap saja tak bisa. Keraguan memang kuasaiku saat ini. Sebabnya: aku ragu jangan-jangan telponku tak diangkat nantinya; jangan-jangan ganggumu yang mungkin sedang sibuk di sana. Sejujurnya sih aku ragu karna takut selepas mendengar suaramu, aku tak bisa lepas lagi dari bayangmu. Bayang indah yang kenyataannya tak bisa kurenggut untuk dipeluk dan digenggam dalam lubuk.

Kecil.. Masih ingatkah kau saat malam tahun baru itu. Sejam sebelumnya hingga seratus lima puluh menit setelahnya. Aku mungkin terlihat bersenyum santai, bergerak lugas, dan berbicara enteng; padahal jantungku debarnya tak berkira. Bukan karna takut pada ayahmu (ada sih, sedikit) yang katamu cukup korektif itu, tapi sesungguhnya detak nadiku berpacu otomatis karna rasakan degup dadamu yang dirindui.

Malam itu kau terlihat anggun dengan tampilan yang berbeda, atau mungkin karna kau bagiku terindah. Tak taulah, yang pasti kau berhasil gemparkan ini dada. Kembang api dan petasan di langit menambah cantik malam kebersamaan kita. Ingin kugenggam tanganmu waktu itu agar deras aliran darah ini kau rasakan. Bilamana ada luka di kulitmu akan kuiris tapakku sesegera supaya saat berpegang kita darahku mengalir pada lukamu dan mencampur di nadimu. Menginfeksimu. Karna dalam darahku ada cinta, berharap cinta itu melebur di tubuhmu, semoga menyatukan kita selalu.

Tapi tak begitu jadinya. Cinta tak berhasil satukan kita. Hanya canda tawa yang setia hangatkan perjalanan; dialog yang tak pernah habis bak air laut kala bercerita kehidupan.

Kecil.. sungguh bangga aku mengenalmu. Ingin rasanya cerita kita tetap berlanjut, karna masih luas sisa halaman ini kau tinggal. Aku sadar bukan siapa-siapa, masa depan masih buram memang terlihat dari layar kacaku. Hanya kucoba berpegang pada ketulusan. Karna ketulusan pasti membawa pada kebahagiaan.

Hidup ini pilihan, dan kau berhak menentukan. Biarlah aku menjadi jejak yang tetap tertinggal, agar jika suatu saat nanti kau ingin kembali, langkahkanlah kakimu di jejak-jejakku. Pasti kau takkan tersesat. Walau memang kita takkan di bawah langit yang sama lagi, tapi pasti tetap ada bulan dan mentari di cakrawala kita. Ada kemarin dan pagi dalam hari kita.