Rambutnya lurus terurai hitam sepunggung, kuning langsat menghambur monochrome dari kulit yang banyak mengelus lebat ujian kehidupan. Wajah senja itu seperti hendak mengucap sesuatu, sesuatu yang mustahil terkata dari mulut wanita dua puluh tahun terikat tali suci pernikahan. Dia tepat di hadapku kala percakapan mengalir seru berhias canda kekeluargaan bicarakan masa muda, orang tua dan anak perawan yang senang bercerita asmara pada sang bunda.

Sebuah detik -mungkin lebih- sejenak mengabadikan dalam benakku raut sang istri berbeban. Tiba-tiba duka terpajang meradang, luka kembali menganga sepertinya. Bibir senyum -tapi tatap sendu- iringi ungkap yang sekejap gemparkan sebuah ruang di hatiku, ada kekosongan yang tak berhasil diisi dua dasawarsa perkawinan; tak sanggup dipenuhi bahkan oleh tiga buah hati tercinta. Ada apa dengannya? Mengapa pandangan itu bak lukiskan sesal yang tak terkatakan?

Ketika sembilan belas tahun aku sudah menikah, hanya dengan dua minggu berpacaran.
Pernyataannya memberi jawab pada jiwaku yang masih gempar. Siti Nurbaya mungkin menjelmanya, hingga belia usia harus dicuri pahit pelaminan; janur kuning bagai buramkan indah impian.
Badik di leher jika menolak menikah.