Kamis, 03 Maret 2011

MENGALAMI dan MENGAKHIRI

1.       Mengalami
Ketika kau memulai perjalanan orang-orang di sekitarmu niscaya takkan mengingat bagaimana kau memulainya. Apa saja yang telah kau korbankan agar bisa ada dalam jalan itu. Atau segala keindahan yang kau punya saat masih di garis start; mereka takkan mengekalkannya dalam ingatan. Orang-orang hanya akan mengingat semua ukiran jejakmu saat kau di jalan itu, setiap lubang yang pernah membuatmu jatuh hingga berdarah dan tembok yang untuk memanjatnya harus kau kerahkan seluruh tenaga sampai peluh basahi sekujur tubuhmu.

Mengalami adalah bagian penting dalam sebuah prosesi perjalanan. Di sana kamu akan menemukan semua yang dinamakan kesengsaraan, kebahagiaan, senyum, cemberut, luka, suka, dan berbagai perasaan yang mampu mengekspresikan kehidupan. Orang-orang di sekitarmu akan mengingat bagaimana kau terhimpit dan menangis kala hidup terasa menyepikanmu; cinta melupakan hatimu; dan rumah terasa bukan tempat yang tepat untuk kau pulang. Mereka juga akan mengenang bagaimana kau mendapat mutiara dan tersenyum kala yakin dia adalah takdir cintamu; hidup terasa sungguh sempurna, dan rumah adalah tempat terindah untuk berbagi.

Tapi tetap saja orang-orang akan melupakan apa saja tentangmu ketika kau memulai perjalanan itu.


2.       Mengakhiri.
Ketika kau membuat pejalanan orang-orang di sekitarmu niscaya takkan mengingat bagaimana kau memulainya. Mereka akan melupakan setiap inci airmata dan semua detik perjuanganmu untuk bisa berada dalam jalan itu. Yang hanya akan terpatri dalam ingatan mereka adalah kala kau bisa mengakhiri perjalanan: selembar cerita dengan beribu huruf, ratusan kata dan puluhan tanda hingga akhirnya pada bait terakhir, ketika cerita harus berada pada titik penghabisan, kau takkan punya pilihan lain selain harus menutupnya dengan akhir yang penuh konsekwensi: bahagia atau sengsara.

Mengakhiri adalah klimaks dari sebuah perjalanan. Di sana terdapat penentuan berbagai kisah yang dulunya masih ragu, dan jawaban semua yang awalnya cuma pertanyaan saru. Juga, di sana berhadiahkan satu perasaan dan ekspresi saja; entah bahagia yang tebarkan senyum atau dukacita yang teteskan airmata. Orang-orang di sekitarmu akan mengenang bagaimana kakimu berusaha sekerasnya untuk mencapai garis finish. Dan setelah garis itu, semua berakhir. Ingatan akan menempatkan sejarahmu di bingkai kebahagiaan atau malah membuangnya dalam pusara kesedihan.

Tapi, bagaimana dengan hidupmu? Apakah bersama perjalanan kau juga berakhir? Kau mesti tau, sebuah akhir sebenarnya adalah awal yang baru; garis finish sebetulnya adalah start untuk perjalanan yang lain. Dan apakah masih kau percaya kalau hidupmu akan berakhir pada satu titik penghabisan? Atau cintamu yang hilang adalah pertanda usainya segala?

Tapi tetap saja orang-orang di sekitarmu akan melupakan apa saja tentang dirimu ketika kau memulai perjalanan itu.

Mengalami dan mengakhiri adalah inti dari petualanganmu, walau sebenarnya akhir adalah awal dari pengalaman baru.

Senin, 10 Januari 2011

KATA CINTA



Kata orangtua, cinta bukan untuk anak kecil

Kata anak, cinta bukan untuk orangtua lagi

Kata kakak, cinta itu kedewasaan

Kata adik, cinta itu nanti

Kata guru, cinta adalah pengalaman

Kata murid, cinta adalah pelajaran

Kata penasehat, cinta tak harus memiliki

Kata provokator, cinta itu perang

Kata sahabat, cinta itu kebersamaan

Kata musuh, cinta itu kemarahan

Kata yang patah hati, cinta ini membunuhku

Kata yang jatuh cinta, cinta itu kebahagiaan

Kata yang setia, cinta itu segalanya

Kata yang tak setia, cinta hanyalah permainan

Kata pacar, cintamu memiliki sejuta arti

Kata mantan pacar, cintamu tak lagi berarti

Kata hati, cinta itu hakiki

Kata benci, cinta itu menyakiti

Kata Tuhan, cinta itu kasih

Kata iblis, cinta itu nafsu

Kata kamu, cinta itu aku

Tapi kataku, cinta adalah hidup dan hidup adalah cinta

Selasa, 14 Desember 2010

WANITA DAN DUNIA

Berbicara wanita berarti berbicara kelembutan dan keindahan. Tak pernah dan tak akan pernah bisa topik kehidupan terpisah dari sosok yang satu ini. Wanita sudah menjadi isu besar dalam pentas peradaban, sejak awal manusia diciptakanpun, wanita sudah berperan penting ketika takdir kehidupan akhirnya diubah. Ketika arti cinta akhirnya harus bertambah maknanya. Arahnya bukan lagi hanya dari Adam kepada Yang Esa (atau sebaliknya), namun ditujukan juga kepada lawan jenis, yaitu Hawa.

Kalau dalam kepercayaan saya, cinta antara Allah dan manusia disebut juga (dalam bahasa Yunani) Kasih Agape, dan cinta yang timbul dari perasaan suka antara laki-laki dan perempuan disebut Kasih Eros. Jadi keduanya sudah pasti berbeda.

Wanita juga berandil besar dalam sejarah Kepercayaan, seperti halnya Bunda Maria. Dibanggakan miliaran manusia bumi karena melahirkan Yesus yang dalam Al’quran disebut Isa Almasih. Bagi umat Kristiani, Yesus dipercaya sebagai Tuhan. Satu-satunya Allah yang menciptakan langit dan bumi yang rela menjadi manusia untuk menebus dosa-dosa dunia. Itulah kenapa Maria menjadi sala-satu cerita besar hingga kini.

Selanjutnya Sara istri Abraham. Saat usia lanjut memupuskan kesabarannya karena tak kunjung mendapatkan anak yang dijanjikan Allah kepada mereka, ia mengambil Hagar dan memberikannya kepada Abraham untuk memperoleh keturunan. Sebuah keputusan yang di kemudiannya menghasilkan fenomena bagi dunia. Dua negeri yang dilahirkan dari rahim Hagar dan Sara. Dua negeri yang ber-ayah-kan Abraham. Ishak dan Ismail: Ibrani dan Arab. Mungkin memang sudah seperti itulah takdir. Alur kehidupan yang ditata dan ditentukan langsung oleh Yang Esa, namun setiap akibatnya tetap memiliki sebab-sebab yang pasti.

Banyak lagi wanita-wanita besar tertulis dalam buku-buku sejarah karena kebaikan hati mereka, kecantikan paras, ataupun karena kontroversi yang tercipta dari sisi lain kehidupan mereka. Sebut saja Mother Teresa, Marilyn Monroe, Lady Day dan banyak lagi lainnya. Mereka ini adalah wanita-wanita yang berhasil  merenggut perhatian dunia, dan karena mereka-mereka ini gambar wanita makin menjadi pemandangan besar dunia dengan beribu makna terkandung di dalamnya.

Kepopuleran Wanita juga semakin besar dikarenakan figur feminin itu berhasil menjadi penyempurna dan media dalam berjalannya zaman. Penyempurna di sini bukan dimaksudkan hanya sebagai tambahan layaknya bumbu penyedap untuk menyempurnakan rasa makanan, tapi adalah penggenap seperti halnya lilin tanpa api takkan berguna, dan api takkan baik jika membakar sesukanya. Wanita juga telah berhasil menjadi media, yaitu jembatan yang meneruskan peradaban dunia. Rahim yang hanya Tuhan anugerahkan ke dalam tubuh wanita menjadikan keturunan Adam bisa ada turun-menurun dan bertambah banyak sampai saat ini.

Karena rahim itu juga Bunda Maria bisa menjembatani kelahiran Isa Almasih, dan dua negeri di Timur Tengah yang terlahir dari rahim Hagar dan Sara –sebagai medianya- masih menjadi berita hangat sebab perang yang hingga kini masih menderu di sana. Semua itu tak lepas dari andil mereka-mereka yang disebut Wanita.

Wanita dan Dunia adalah fusi yang tak bisa dipisahkan riwayatnya. Keduanya saling bergantung satu sama lain. Wanita berperan dalam berjalannya dunia, aspek-aspek kehidupan tetap menempatkan wanita dalam setiap halaman ceritanya. Begitu juga Dunia, berperan penting dalam membuat wanita merasakan kesempurnaan hidup dengan segala kemewahan yang ditawarkan. Misalnya, Wanita tak dapat lepas dari yang namanya fashion, make-up (walau banyak juga dari mereka bergaya hidup maskulin), perhiasan berharga, dan banyak lagi. Dunia berhasil mengadakan semua itu.

Dan di sini, saat dunia telah membuat wanita sebegitu berperannya, berbagai persepsi mulai pro dan kontra bertamu. Ada yang bilang “wanita racun dunia”, ada juga yang berkata “god is a girl”, “keong racun”, “kupu-kupu malam”, mmm.. Apa lagi, yah..? Masih banyak lagi deh. Itu wajar, karena setiap manusia punya asumsi masing-masing tentang sesuatu, baik itu positif maupun negatif. Dan wanita bak koin yang memiliki dua belah sisi, sisi yang satu belum tentu sebaik sisi lainnya. Tak ada suatupun di dunia ini yang sempurna; wanita satu di antaranya.

Tapi lepas dari semuanya itu, pada hakekatnya wanita adalah mahkluk yang harus mendapat perlindungan dan kasih saying. Kelembutan dan keindahannya sudah cukup menjadi alasan. Tanpa kelembutan dan keindahan, dunia tak layak menjadi hunian manusia satu-satunya. Dan mungkin tepat juga kalau wanita disebut sebagai penolong. Bayangkan jika seandainya Adam diciptakan dan harus selamanya sendiri, pasti Adam akan bosan terus-menerus bergaul dengan binatang dan tumbuh-tumbuhan saja (hahaha…). Hawa adalah penolong yang datang di saat dan waktu yang tepat bagi Adam.

Wanita dan Dunia, hibrida yang menelurkan Keanggunan dan Kecantikan, jangan sampai melahirkan kecurangan dan perzinahan. Keanggunan mengekspresikan sifat dan keunikan karakter yang diberikan Sang Pencipta bagi manusia, terlebih khususnya wanita. Watak yang sebenarnya adalah tabiat dasar dan gambaran watak Allah sendiri. Sedangkan kecantikan mendeskripsikan keelokan paras dan kemolekan rupa dari mahkluk yang dinamakan wanita itu.

Namun moderenitas telah menjebak wanita ke dalam dunia yang pamrih. Banyak dari mereka mencari keanggunan dan kecantikan di dapur kecurangan dan perzinahan. Dunia memberikan keanggunan dan kecantikan yang mereka cari (padahal sebenarnya palsu), dan sebaliknya dunia menuntut balasan. Tak jarang banyak wanita zaman ini terpuruk dalam hitamnya dunia demi mengejar popularitas, kemewahan dan semua yang dianggap dapat mengantarkannya menemukan kebahagiaan.

Bagaimana baiknya cara yang harus dilakukan wanita supaya tak jatuh dalam ngerinya hitam dunia? Semuanya kembali lagi bertanya ke masing-masing diri. Pasti masih ada kebenaran dan jawaban di sana.
Wanita dan Dunia telah sukses warnai belantika kehidupan. Baik buruknya ditentukan nurani dan dinilai langsung oleh semua mata dan hati. Mungkin ketika sifat dasar kembali lagi bertahta dalam setiap diri, Keindahan Sejati pasti bisa kembali terpancar dari kejujuran wajah Wanita dan Dunia.

Tapi, mungkinkah semuanya itu masih bisa?

Senin, 15 November 2010


Siang masih pancarkan sinarnya yang kokoh di titik tengah langit. Angin bertiup menyejukan para pejalan kaki, turis lokal sampai mancanegara seperti takkan habis di sepanjang jalan ini, sepanjang daerah Kuta. Toko-toko padat bercokol dengan barang jualannya, penginapan bergaya Bali, dan tempat makan yang asik berpadu dengan sejuknya udara pantai.

Di dalam mobil aku masih terkagum-kagum dengan keajaiban yang termonitor langsung oleh mataku. Legian, Tuban, Kartika Plaza, dan sekitarnya telah meniba keharuan tersendiri dalam lubuk hingga membuat mata tak berkedip dalam beberapa waktu dan mulut kadang lupa mengatup karna keindahan yang belum berhenti pamer di balik kaca mobil pak James (penjaga rumah sekretariat tempat menginapku), yang sekali-sekali mengantar aku dan teman-teman keliling kota.

Di ujung jalan sana terlihat beberapa bule sedang serius memerhatikan sebuah objek, yang lain sibuk memotreti keadaan selitar. Mobil semakin mendekat, kian jelas olehku apa sebenarnya yang mereka perhatikan sedari tadi. Dinding besar terlihat diukiri tulisan-tulisan, lebih tepatnya ukiran-ukiran nama. Deretan nama meninggal pada tragedi Bom Bali yang terjadi beberapa tahun lalu. Kata 'kontras' mulai menyesaki ruang hatiku, indah memang belum tentu aman. Sejenak jiwaku lirih.

Di belahan lorong lain kutemui yang selama ini kunanti. Tempat yang sudah lama kudamba untuk dinikmati langsung dengan mata kepala sendiri. Hamparan pasir putih, ombak besar dengan pemain surfing-nya, keramaian pengunjung dengan berbagai warna kulit, terpampang di sana menjadi pemandangan yang  pertama kali kutemukan dalam hidup.

Walau belum sempat kaki ini menjejak pantai, namun sebuah kepuasan telah cukup untuk sejenak menabahkan perasaan. Kesibukan awal di sini masih belum memberi waktu cukup untukku bisa menyusuri Bali lebih spesifik lagi.


14  jan

Jumat, 05 November 2010

TAUKAH KAU?


Taukah kau aku merindumu? Ketika malam meniba bagai kaktus aku tertengger di tengah gurun sendiri bertemankan sepi. Bulan satu-satunya objek paling jelas yang dapat dipandang walau dengannya tak berbahasaku percakapkan kamu.

Taukah kau aku mencintaimu? Ketika binar mentari telah menggerayangi kamar hingga gerah menyesak, tak pernah cerah kurasa seperti saat masih disisimu. Kau adalah objek paling jelas dan paling kerap kutuju dalam samudra hidup walau tak pernah lagi sekalipun kugapai pantaimu.

Taukah kau aku menyayangimu? Ketika senja merebak ada gertak aroma kental kukenal sangat membauiku. Aromamu. Bola orange nyaris tenggelam di barat sana: batas waktu dan syarat wajib ‘tuk sekedar jejaki ingatan manis denganmu.

Senja adalah teman terbaikku. Rumah bagi ketenangan, ketabahan, kejujuran dan kenangan. Seperti paduan rasa yang serempak menghirup harum aroma senjamu.

Kau adalah cinta dalam hati tanpa sentuhan nyata; kasih murni dan penantian tak bertepi.

Sendiri.
Meniti.
Sepi...

Senin, 01 November 2010

SEBUAH SURAT UNTUK kecil-KU

Hai kecil.. berselang sudah kita tak bersua, padahal alamat belum ganti dan tempat masih kita sekota ini. Apa yang membuatmu betah tak mengirim pesan padaku dan yang buatmu kuat tak menatapku? Mungkin memang cintamu telah saru, tak jelas lagi seperti dulu. Atau karna hatimu telah beku, membatukan air kasih kita yang masih baru.

Di hadapan kini terpampang duabelas digit nomor. Nomor yang 'kan hubungkan suaraku denganmu nun di sana jika tombol hijau pada handphone kutekan dengan pasti. Tapi kata pasti itu yang sedari tadi masih beradu dengan sepatah kata ragu yang tak jua hilang karna segumpal sebab masih berkerumun dalam otak. Ingin kuhapus ragu itu sebersih mungkin, biar hanya pasti yang akhirnya tuntun jempolku menekan tombol yes dan menelponmu.

Ahh.. tetap saja tak bisa. Keraguan memang kuasaiku saat ini. Sebabnya: aku ragu jangan-jangan telponku tak diangkat nantinya; jangan-jangan ganggumu yang mungkin sedang sibuk di sana. Sejujurnya sih aku ragu karna takut selepas mendengar suaramu, aku tak bisa lepas lagi dari bayangmu. Bayang indah yang kenyataannya tak bisa kurenggut untuk dipeluk dan digenggam dalam lubuk.

Kecil.. Masih ingatkah kau saat malam tahun baru itu. Sejam sebelumnya hingga seratus lima puluh menit setelahnya. Aku mungkin terlihat bersenyum santai, bergerak lugas, dan berbicara enteng; padahal jantungku debarnya tak berkira. Bukan karna takut pada ayahmu (ada sih, sedikit) yang katamu cukup korektif itu, tapi sesungguhnya detak nadiku berpacu otomatis karna rasakan degup dadamu yang dirindui.

Malam itu kau terlihat anggun dengan tampilan yang berbeda, atau mungkin karna kau bagiku terindah. Tak taulah, yang pasti kau berhasil gemparkan ini dada. Kembang api dan petasan di langit menambah cantik malam kebersamaan kita. Ingin kugenggam tanganmu waktu itu agar deras aliran darah ini kau rasakan. Bilamana ada luka di kulitmu akan kuiris tapakku sesegera supaya saat berpegang kita darahku mengalir pada lukamu dan mencampur di nadimu. Menginfeksimu. Karna dalam darahku ada cinta, berharap cinta itu melebur di tubuhmu, semoga menyatukan kita selalu.

Tapi tak begitu jadinya. Cinta tak berhasil satukan kita. Hanya canda tawa yang setia hangatkan perjalanan; dialog yang tak pernah habis bak air laut kala bercerita kehidupan.

Kecil.. sungguh bangga aku mengenalmu. Ingin rasanya cerita kita tetap berlanjut, karna masih luas sisa halaman ini kau tinggal. Aku sadar bukan siapa-siapa, masa depan masih buram memang terlihat dari layar kacaku. Hanya kucoba berpegang pada ketulusan. Karna ketulusan pasti membawa pada kebahagiaan.

Hidup ini pilihan, dan kau berhak menentukan. Biarlah aku menjadi jejak yang tetap tertinggal, agar jika suatu saat nanti kau ingin kembali, langkahkanlah kakimu di jejak-jejakku. Pasti kau takkan tersesat. Walau memang kita takkan di bawah langit yang sama lagi, tapi pasti tetap ada bulan dan mentari di cakrawala kita. Ada kemarin dan pagi dalam hari kita.

Sabtu, 30 Oktober 2010

SAAT PERTAMA KE BALI 2

Seorang wanita dengan pakaian adat berkelebat mencuri perhatianku. Langkahnya tabah menyusuri beranda rumah, di tangannya memegang sesuatu –tak persis apa- yang kemudian diletakan di atas kuil kecil. Ritualpun dilakukan: menyalakan dupa dan berdoa. Aku akhirnya mengerti itu adalah sesajen yang dipersembahkan untuk dewa-dewa. Rutinitas wajar dilakukan warga sini. Nyaris seluruh rumah di kemudiannya terdapat hal-hal serupa terpantau mataku yang pasti ditemukan di sepanjang Bali. Hmm.. pemandangan unik tapi jujur sangat indah.

Di bingkai jendela berikutnya kutemukan jejeran bangunan bergilir pamerkan kwalitas: Mall, Supermarket, Bioskop, Restoran, sampai kios-kios kecil bergantian padati tepi jalan. Tapi satu yang buatku heran, dari semua gedung dalam pemandangan tak ada yang persis menjulang tinggi. Kata si Bapak yang menjemput, di Bali tak boleh ada bangunan yang tingginya melebihi batas yang ditentukan. Ada juga yang bilang tak boleh melebihi tinggi pohon kelapa. Ahh.. entah kenapa? Masih banyak yang nantinya harus kumengerti.

Setelah menempuh kira-kira setengah jam perjalanan tiba juga kami di rumah yang ‘kan ditempati selama menetap di sini. Ruang luas di lantai dua dengan tiga tempat tidur terasa cukup untuk kami bertiga sekamar.

Yang tambah bikinku puas, terdapat teras yang sejenak memesonaku. Paparan perumahan Griya Nusa Damai, Jimbaran, indah terlihat dari sana.

Perlu waktu yang panjang untukku bisa menyadari telah berada di kota eksotik, Bali. Dan ini pasti masih awal dari semuanya.

11 jan

-to be continue-